admin
Penghujung tahun 2022 yang baru kita lewati, dihiasi berita tentang berhenti terbitnya sejumlah media cetak: Majalah Bobo Junior, Majalah Mombi, Majalah Mombi SD, Tabloid Nova, dan Harian Republika. Sesungguhnya, senjakala media itu semakin surup.
Saya pernah berkelakar dengan beberapa sejawat. Bahwa belakangan ini, kita tak perlu mencari-cari informasi. Kabar dan berita akan datang begitu saja ke kita, “Lewat lingkaran pertemanan dan media sosial yang kita miliki,” begitu saya bilang ke mereka.
Tidak percaya? Coba saja cek di grup layanan pesan instan yang selalu memberi pemberitahuan di telepon pintar kita. Juga dari notifikasi media sosial, andai kita rajin meliriknya. Berita apapun, dari manapun, akan mudah kita temui. Dari kepala berita di media terpercaya, laporan pandangan mata warga, sampai kabar-kabar bohong yang acap ditiup-tiupkan, lagi dan lagi, oleh siapapun, dan uhm, barangkali sempat kita lakukan juga.
Ya, kita tengah hidup di era post-truth, zaman yang antara fakta dan dusta mengabur. Tak jelas antara mana berita, mana yang bukan berita. Dan karena begitu mudahnya menyebarkan satu tautan, atau satu tangkapan layar, maka bak virus, suatu kabar akan dengan mudah menyebar ke segala penjuru. Seperti bulu-bulu yang dihembus angin. Kita tak mungkin lagi mengumpulkan yang sudah telanjur tersebar. Menebusnya dengan suatu ralat atau klarifikasi, tak semudah menyebarkannya di awal. Ya, masyarakat memang lebih suka berita negatif. Yang positif, akan senantiasa kurang diminati. Dan karena harus berhadapan dengan banyak fenomena seperti ini, maka jurnalisme kita, sedang berada di ujung tanduk.
Mulanya saya tidak percaya bahwa media cetak berangsur mati karena masyarakat kehilangan minat baca. Tidak. Publik masih suka membaca, kok. Hanya saja, yang mereka baca, adalah yang mereka suka. Teori jarum hipodermik tak lagi punya gigi tajam. Sebagai ganti, teori kegunaan dan kepuasan [uses and gratification] mengambil alih. Masyarakat masih haus informasi --dan lebih haus lagi untuk menyebarkan informasi karena dikuasai FOMO [fear of missing out]. Kebiasaan membaca media cetak tergantikan oleh membaca dari gawai. Kebiasaan membaca dari sumber terpercaya, tergantikan dengan membaca dari informasi yang hinggap di perangkat mereka --dan relatif terpuaskan dengan itu-- tanpa merasa harus melakukan verifikasi. Belum lagi dengan tingkat literasi yang sangat rendah. Saya harus mengaku bahwa jurnalisme sedang berada di ujung tanduk.
Gagasan bahwa jurnalisme kini dalam kondisi sekarat, diperkuat dari obrolan saya dengan seorang Kating [Kakak Tingkat – istilah kekinian untuk kakak kelas] pada suatu hari. Ia, seorang jurnalis handal, pandai membaca situasi, dan kini menjadi pemilik bisnis media di sebuah jejaring media besar. Ia yang juga menjabat sebagai puncak pimpinan di sebuah institusi kewartawanan di daerah, beranggapan bahwa ilmu jurnalisme telah dikalahkan ilmu optimasi pencarian kata kunci. Dunia maya dipenuhi banyak informasi, yang menurut beberapa pengamat disebut juga sebagai era tsunami informasi. Gelombang besar informasi itu menghempas dan menerjang semua orang yang hidup mengandalkan gawainya untuk senantiasa terhubung ke internet.
Diskusi saya dengan si Kating ini berjalan cukup sengit dengan tambahan beberapa teman diskusi. Si Kating khawatir, ilmu jurnalistik sudah tak diperlukan lagi, dan sebagai ganti, “mahasiswa perlu lebih banyak belajar tentang bagaimana tulisan mereka cepat ditemukan di mesin pencari, cepat bisa dibaca karena tak perlu berpanjang-panjang, dan punya greget yang tinggi untuk diklik dan disebarkan,” begitu katanya.
Saya mendebatnya. Saya berkeyakinan bahwa yang terjadi hanyalah perubahan bentuk saja. Beda format. Dan semangat mempertahankan jurnalisme itu masih cukup agung untuk bisa dengan mudah menghilang dari masyarakat kita.
“Berganti wujud apanya? Ini bukan berubah format. Bahkan ruh jurnalismenya, sudah tidak ada,” kilahnya berapi-api. Si Kating buru-buru mewanti-wanti, untuk tidak mengundangnya ke kampus dan bicara itu di depan para mahasiswa. “Pasti saya langsung diusir dari forum itu,” ujarnya menambahkan, yang langsung disembur gelak tawa kami semua.
Andreas Harsono, seorang wartawan senior, penulis, kolumnis, aktivis, yang juga jadi mentor saya, menulis dalam pengantar bukunya yang bertajuk A9ama saya adalah Jurnalisme seperti ini, “Saya percaya, apabila jurnalisme di suatu masyarakat bermutu, maka kehidupan masyarakat itu juga akan makin bermutu.” Ide ini, dia dapatkan dari mentornya lagi, yaitu Bill Kovach, seorang guru wartawan beretnik Albania, yang pernah mengajar Harsono di Harvard. Menurut Kovach, “Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat.” Saya setuju sepenuhnya dengan pendapat ini.
Seorang Ating [lawan Kating, Adik Tingkat] bertanya dengan nada yang agak putus asa. “Masak sih, media nggak punya semacam obat untuk self-healing dari ‘penyakit’ ini?” Saya curiga, persaingan bisnis media saat ini, lebih mementingkan mereka terpaksa menelan racun yang --apa boleh buat-- relatif lebih membuat mereka dapat bertahan dalam waktu dekat ini. Sama seperti kasus yang membuat sebuah media televisi yang gulung tikar, karena terlalu mengikuti selera pasar, dan bukan mempertahankan idealisme, yang sayangnya tidak laku di pasaran. Lagi-lagi uses and gratification menunjukkan keampuhan teorinya.
Lalu, bagaimana tahun ini? Media mana lagi yang akan gulung tikar? Dan masih lamakah Indonesia berada di lini terbawah tingkat literasi dunia? Saya menyisakan pertanyaan ini untuk saya sendiri, untuk Anda, untuk kita semua. []
Bandung, 3 Januari 2023
@hagihagoromo
Pemimpin Redaksi
Belum ada komentar !